Jas Putih

1980s
Waktu kecil dulu, saya suka ditanya orang “apa cita-citamu kalau sudah besar nanti?” Lalu saya jawab dengan lantang: “mau jadi doktew!“. Bahkan lidah saya yang belum fasih melafalkan huruf R pun kalah kuat oleh keinginan saya di masa kecil hehehe. Saya rasa, jutaan anak di Indonesia juga menjadikan profesi ini sebagai cita-cita kecilnya. Bagaimana tidak? Dokter adalah profesi yang mulia, menolong dan menyelamatkan nyawa orang, pintar —karena kalau nggak pintar nggak mungkin masuk kuliah kedokteran, terpandang —dihormati karena kemuliaan tugasnya, sering ke luar negeri, dan mobilnya bagus. Atas kehendak Allah SWT saya dulu lahir dengan paru-paru yang memiliki flek, jadi sejak kecil saya sudah akrab sekali dengan yang namanya Dokter. Jadi semua hal-hal yang di despkripsikan tentang Dokter oleh seorang neng mumun kecil diatas adalah atas pengamatan murni dia sebagai seorang anak.

2010s
Waktu berjalan maju sampai anak kecil itu sekarang sudah dewasa dan punya anak kecil juga. Di dekade ini rupanya sudah berubah, anak-anak akan berteriak : “mau jadi penyanyi solo“, “kalo aku pingin jadi artis“, “MC dong karena aku kan anaknya suka cuap-cuap“, “designer kenamaan yang namanya membahana di kota mode dunia“, ketika ditanya perihal cita-cita, dan banyak lagi profesi lain yang jauhhhh lebih beragam dibandingkan masa saya kecil dulu. Sedangkan Dokter tetap sebagai profesi pilihan, tetapi bedanya adalah…

Dokter nowadays bukan lagi manusia setengah dewa, tentunya itu hanya sebagai perumpamaan saja. Sejak internet menjadi “genggaman” setiap orang (not every but almost), seluruh informasi dapat dicari hanya dengan sekali klik. Tentunya informasi sangat berbeda dengan ilmu yang didapat dari bangku perkuliahan atau pendidikan formal bahkan seminar-seminar kedokteran yah. Namun hal itu dapat dijadikan acuan oleh para pasien / orang tua yang hendak berobat atau melakukan tindakan yang berhubungan dengan kesehatan dirinya /anaknya. Jaman dulu mungkin orang datang ke dokter, diberi diagnosis, obat dan selesai sudah. Pulang bawa resep, tebus dan minum. Kalau penyakit cepat sembuh, wow hebat, dokternya pinter. Familiar? Yess hehehe. Disini saya hanya akan bercerita mengenai hubungan dan pandangan saya mengenai dokter dan pengobatan setelah saya menjadi seorang Ibu. Sekarang, banyak pandangan yang berubah mengenai kesehatan tubuh. Mungkin karena ada rasa tanggung jawab yang muncul ketika memasukkan obat (kimiawi) ke dalam tubuh anak saya.

image

Awal punya anak, bisa dibilang saya ini emak rese bin parno yang dikit dikit kerjaannya main ke dokter. Anak keselek dikit, ke dokter.. kentut dikit ke dokter.. Untung dokter anaknya temen eyangnya si bocil, jadi gratis deh.. lol!. Tetapi saya juga mulai belajar soal RUM (Rational Use of Medicine) pelan-pelan. Bagaimana memberikan obat dengan dosis yang tepat waktu dan tepat guna. Yang paling penting adalah pemberian antibiotik. Sounds familiar juga kan? Karena si bocil kecolongan minum antibiotik waktu kena flu singapore (yang mana obatnya hanyalah asi, asi dan asi untuk bayi dibawah 6 bulan sebenarnya), saya jadi semacam menggojlok diri sendiri untuk lebih aware soal pemberian obat ke anak. Mengenai pemberian antibiotik yang semestinya bisa di google, karena sudah banyak banget informasi mengenai hal tersebut. Bedanya lagi ke dokter jaman sekarang dan jaman dulu. Kalau dulu, pulang dari dokter nggak bawa obat itu ibarat pup nggak cebok. Harooooom. Kalau sekarang, dokter bisa menjadi teman diskusi, dan pengobatannya bisa berupa saran mengenai home treatment di rumah. Contohnya seperti common cold pada anak, yang mana hal itu merupakan cara alami tubuh untuk meningkatkan sistem imunnya. Home treatmentnya bisa dengan mengoles balsem ke dada anak dan menaruh baskom yang berisi air panas ditetesi minyak kayu putih sehingga uapnya menyebar ke seluruh kamar dan melegakan pernafasan anak. Memang sembuhnya lama, hampir satu minggu.. tapi tubuh anak makin kuat karena kekebalannya bertambah. See? Tidak membutuhkan obat untuk sesuatu yang bisa ditangani oleh tangan Ibu.

Untuk saya pribadi, saya tipikal orang yang akan neror tanya-tanya sejelas dan sedetil mungkin mengenai obat yang diberikan kepada pasien. So, dokter-dokter anak yang —maaf, sudah tua dan kalau ada pasien konsul hanya bicara seadanya, melihat ke arah kertas dan langsung corat coret resep, definitely bakal saya coret juga dari list dokter anak pilihan. Bukan bermaksud mendiskreditkan Dokter senior, tetapi justru pengalaman dari berbagai forum.. Dokter-dokter yang tidak update perkembangan ilmu terbaru (exp: Mpasi, Imunisasi, ASI) justru malah kebanyakan dari beliau-beliau. Kurang paham juga apakah karena merasa sudah senior hingga tidak perlu update info atau bagaimana. Tapi sungguh ironis menurut saya, hehehe… karena bidang yang digeluti kan Ilmu kesehatan, yang mana pasti akan terus berubah dan bertambah seiring dengan perkembangan jaman. Ibu-ibu masa kini kitabnya udah banyak, ada KSPP, jadwal Imunisasi IDAI terbaru not to mention gadget dengan akses internet full dan lain lain. Jangan memberi perlakuan yang nggak sesuai, bisa disemprit! :p

Seperti yang saya singgung diatas mengenai manusia setengah dewa, saat ini kedudukan pasien adalah klien (yang mana dari dulu pun begitu adanya). Untuk apa membayar jasa (mahal) apabila perasaan kita takut dan nggak nyaman menghadapi Dokternya? Kalau ternyata kelar ke Dokter baru dapat info kalau tindakannya kurang tepat, biasanya akan keluar kata-kata dari ortu: “ah sudahlah.. Dokternya pasti tau yang terbaik untuk anak saya“. Yang mana itu adalah pembenaran, karena yang terbaik untuk anak seharusnya diberikan oleh orang tua, bukan orang lain. Beuh, judgemental gak sih kalimatnya… tapi memang untuk alarm bahwa sebagai orang tua memang harus punya ilmu dan belajar. Berat yak tugasnya? Ohhhh parents nowadayss…. 😀

Walaupun cerewet dan tukang teror kalo di dalam ruangan Dokter, bukan berarti saya juga setuju sama tindakan main kasih obat sendiri. Nggak.. nggak juga sih. Saya sama sekali nggak anti Dokter. Alhamdulillah dapat Dokter anak yang sejalan sama pemikiran dan nggak segan untuk menjelaskan sesuatu. Saya juga Ibu-ibu biasa kebanyakan, tapi gak apa-apa kan kalau sharing hehehhe. Saya suka risiiiih banget sama status-status emak-emak di socmed (sorry yaa kalo ngerasa) macam : “Dokter anakku matre banget nih, masa dikasih obat banyak banget“, “nih dokternya gak pro RUM masa anakku dikasih puyer“, dan sebagainyaaaa… kalau memang keberatan kenapa nggak nanya langsung ke Dokternya? Kayak misal, fungsi masing-masing obat untuk apa? Puyernya isinya berapa obat yang dijadikan satu? Daaaan pertanyaan-pertanyaan lain atas nama komunikasi.

Jadi sekarang yang ikutan berat itu tugas Dokter yah? Ibu saya, Eyang putrinya si bocil selalu bilang sama cucunya, “belajar yang pinter yah biar besok jadi Dokter“. Saya anggap itu doa karena saya masih seperti neng mumun kecil yang menganggap Dokter itu cool. Namun karena doa itu katanya harus spesifik, maka mungkin doa Eyang putri saya revisi jadi “belajar yang pintar yah.. supaya tercapai cita-citanya bisa dapat pekerjaan yang baik. Kalau nanti jadi Dokter, jadilah Dokter ganteng yang komunikatif, RUM dan asik sama pasien, plus nanti istrinya pintar dan cantik serta sayang sama Mama” AMIN. #emakriwil 😀